Jumat, 18 Mei 2012

ASAL USUL NAMA INDONESIA PADA zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang) nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi(Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah. Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais). Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah(kerendahan peradaban) itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul. Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: …. the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama ” Indonesia “agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi! Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama ” Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah ” Indonesia ” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah ” Indonesia ” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu daritulisan- tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakanistilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula- mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggotaVolksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Minggu, 13 Mei 2012

Filsafat SASTRA JENDRA HAYU NINGRAT PANGRUWATING DIYU YANG ADA KAITANNYA DENGAN BAHASA IBU Posted on February 15, 2012 | 12 Comments MANDALAJATI NISKALA Seorang Filsuf Sunda Abad 21 Menjelaskan Dalam Buku SANG PEMBAHARU DUNIA DI ABAD 21, Mengenai Filsafat SASTRA JENDRA HAYU NINGRAT PANGRUWATING DIYU YANG ADA KAITANNYA DENGAN BAHASA IBU Filsafat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu oleh Mandalajati Niskala dianalogikan bagai sebuah kotak yang berisi rahasia besar. Kotak itu berukuran panjang 1M, lebar 1M dan tinggi 1M. Kotak terbuat dari bahan yang tidak bisa dihancurkan oleh kekuatan apapun, sebab kotak itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kemudian kotak dikunci dengan gembok rahasia yang juga tidak bisa dibobol oleh kekuatan apapun karena gembok rahasia itupun diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Di atas kotak tersebut diletakan Handbook sebagai pedoman untuk membuka kotak rahasia, dan harus didahului bagaimana caranya membuka gembok rahasia itu. Jika gembok rahasia telah mampu dibuka, di dalamnya terdapat isi yang sangat rahasia dan misteri yang bernama Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Aneh bin ajaib jangankan isi kotak, gemboknya saja hingga kini abad 21 belum ada yang sanggup membuka. Handbook kotak tersebut berisi simpul-simpul dan simpul-silmpul tersebut merupakan cerita; Resi Wisrawa memulai penjabaran apa arti ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Namun sebelum wejangan berupa penjabaran makna ilmu Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu diajarkan kepada Dewi Sukesih, Resi Wisrawa memberikan sekilas tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Resi Wisrawa berkata lembut, bahwa seyogyanya tak usah terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti terlaksana. Jika dengan sesungguhnya menghendaki keutamaan dan ingin mengetahui arti sastra jendra. Ajaran Ilmu Sastra Jendra itu adalah, barang siapa yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu yang sifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik dikembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur, dan seterusnya……, dan seterusnya hingga cerita tuntas setebal buku. Handbook itu diperebutkan dan diklaim sebagai kitab Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Muncullah disana-sini akhli kitab Sastra Jendra, sebab disangkanya Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu itu berupa “KIWIR KIWIR SETEBAL BUKU”, padahal buku yang terletak diatas kotak itu, hanyalah sebuah Handbook untuk membuka gembok rahasia agar kotak dapat dibuka. Jika kotak ternyata dapat dibuka karena Handbook dibaca dengan benar, di dalam kotakpun masih ada Handbook lainnya sebagai pegangan tata-titi untuk membuka rahasia Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Sampai saat ini kotak itu masih tertutup rapat dan gembok rahasiapun belum ada yang sanggup membuka. Ketahuilah jika nanti Gembok rahasia dapat diketahui kuncinya, sehingga kotak itu dapat dibuka, maka Kitab Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu beserta Handbooknya HILANG DITELAN ALAM atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa, melanglang jagat “Trimurti” menemui “Sejati Diri”, mengendap merelung darah “HUDAR, HADIR, HIDIR”, sehingga orang yang berebut untuk mewarisinya hanya mendapati kotak dengan RUANG KOSONG. Inilah sebuah analogi yang disampaikan oleh Mandalajati Niskala mengenai Filsafat Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu yang masih menjadi sebuah misteri besar dalam dunia filsafat dan spiritual. Menurut pandangan Mandalajati Niskala bahwa Filsafat Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu merupakan kamus ilmu yang tanpa limit dalam sebuah sistem filsafat kehidupan semesta, namun hingga kini bagi banyak kalangan akhli masih terbalut selaput tebal. Mandalajati Niskala mampu menyingkapnya menjadi sebuah mustika ilmu pengetahaun yang luar bisa. Jujur saja rata-rata para pakar seperti kami, tidak faham akan kandungan filsafat Sastra Jendra dan hanya terjebak pada alur cerita Wisrawa, Dewi Sukesih, dll. Terbongkarnya kandungan filsafat Sastra Jendra oleh Mandalajati Niskala, ditandai dengan penjelasan panjang lebar yang beliau sampaikan pada bahasan filsafat di banyak pertemuan. Akibatnya banyak kalangan yang intinya ingin memahami lebih jaun mengenai Sastra Jendra dan bertanya kepada beliau tentang rahasia yang terkandung didalamnya. Kami mengikuti dan mengamati apa yang dijelaskan Mandalajati Niskala sangat berbeda dengan yang dipahami oleh mereka yang mengklaim para akhli budaya. Mereka umumnya hingga kini masih buta dan meraba-raba. Gambaran rahasia Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu ditandai dengan lahirnya syair “Nitis Ngawanci” yang beliau tulis sebagai berikut: ———————————– Cur pulung Mandala Agung, - Mandala Sastrahing Jendra, - Mandala Hayuning Ratu, - Mandala Pangruwating Diyu, - Mandala jatining rasa Geus ngucur jati rahayu, - Jati Langit Lohing Mahpud, - Nitis Bumi Loh Jinawi, - Nitis sumereping ati, - Ati kula ati Sunda, - Matarema Insun – Dia, - Ati rasa nu sajati, - Nu ngancik na jero diri. Pur ngempur cahyahing Mandalajati, nu ngebrak gilang gumilang, Nu hurung jero kurungan Pur ngempur Mandala Agung Cahyahing gilang gumilang Nu nyaangan Pawenangan Sastrahing Jendra Hayuning Ratu Pangruwating Diyu PANGGUMULUNG “keun upayakeun” Mandala Jati kana “kun fayakuning” Mandala Agung. Rep rerep sumerep-hing gumulung nyarungsum balung Tis nitis tumitis-hing ngagetih ngaati Jleg ngadeg Sastra-hing Jendra Hayun-hing Ratu Pangruwat-hing Diyu Nyurup ngamanusa Sunda Dina adegan Khalifah, - —————————– Begitu dahsyat kandungan syair Nitis Ngawanci, yang menyebabkan kami ingin menggali lebih jauh. Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu dalam penjelasan Mandalajati Niskala yang sempat kami simak, ternyata sebuah wahana rahasia raksasa yang tersimpan di Lauh Mahfud yang merupakan Trinata dari Sistem Asmaakullaha, yang kemudian melahirkan seluruh system turunan lainnya diantranya; Sistem Tatanan Ilmu Kalam, Sistem Tatanan Kehidupan, Sistem Tatanan Wujud dsb. Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu hanyalah sebuah istilah yang dibuat berdasarkan kaidah pada ketetapan Tuhan YMK dalam Ayat Kauniyah, bukan pada Ayat-ayat Kauliyah. Kandungannya tidak mungkin dapat dikitabkan karena Maha Luas, Maha Menyeluruh dan tanpa limit, mengikuti sifat-sifat Tuhan Yang Maha Segalanya. Jika ada orang mengatakan bahwa ada kitab Sastra Jendra karangan Si A, Si B dan seterusnya, jelas itu merupakan kebohongan nyata yang lahir dari sifat kebodohan dan ketidakfahaman akan Sastra Jendra itu sendiri. Demikian kata Mandalajati Niskala. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah Sistem Tri Tangtu di Buana yang tidak terlepas dan merunut pada hukum-hukum Tuhan yang bermula dari sebuah titik Jawahar Awal sebagai “ASAL MUASAL” kehidupan, surup ke Jawahar Akhir. Sastra Jendra tak lain adalah cahaya ilmu yang di pancarkan dari LOH MAHFUD (Loh=Lauh) menerangi LOH JINAWI sebagai titik pusat Bumi, yang terletak di Puser Parahyangan. LOH MAHFUD sendiri adalah sebagai Pusat dan Dokumentasi ilmu Jagat Raya yang tanpa limit. Karena itu Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu adalah merupakan sebuah ILMU KALAM yang maha luas dan tanpa limit, yang berada di Lauh Mahfud sebagai Pusat Ilmu Alam Semesta, yang dapat diakses pada Pusat Bumi Lauh Jinawi sebagai Pusat Pemerintahan Sang Ratu Adil. Ilmu Kalam tanpa limit adalah ilmu sastra yang maha luas tanpa limit. Maha luas tanpa limit disebut JENDRA. Kalau memiliki titik limit tidak disebut JENDRA tetapi disebutnya JENDRAL. Dengan demikian maka arti Sastra Jendra sebenarnya adalah SEBUAH ILMU RAHASIA BAHASA YANG MEMILIKI KEKAYAAN KOSAKATA YANG TANPA LIMIT. itulah Bahasa Sunda yang tanpa limit sebagai Handbook yang akan membongkar rahasia Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Kalau tidak percaya, coba bandingkan antara kamus bahasa Inggris yang hanya memiliki perbendaharaan 100.000 kosakata dengan bahasa Sunda Saptapuraga yang memiliki perbendaharaan kata sebanyak 1.300 TRILIUN KOSAKATA. Apabila kosakata Saptapuraga dijadikan kamus seperti kamus bahasa inggris, maka akan berjumlah 13 MILIAR KAMUS. Jika ukuran volume kamus bahasa Inggris 25X30X8cm yaitu 6.000cm3 atau 0,006M3 maka volume kamus bahasa Sunda Saptapuraga adalah 78 JUTA METER KUBIK. Jika kamus disusun dengan ketinggian satu meter maka lahan yang dibutuhkan untuk menyimpan kamus tersebut seluas 78 JUTA METER PERSEGI. Dapat dibayangkan Kota Bandung akan penuh dengan kamus bahasa Sunda Saptapuraga. Demikian Mandalajati Niskala menjelaskan kepada kami. Semua orang akan merasa heran dengan jumlah kosakata bahasa Sunda sebanyak itu. Kami mencoba menanyakan dengan maksud supaya kami betul-betul yakin terhadap ucapan Mandalajati Niskala: “Apakah betul kosakata bahasa Sunda seluruhnya ada 1.300 Triliun Kosakata”? Mandalajati Niskala menjawab: “SALAH……. Saya katakan tanpa limit, BUKAN SEBANYAK ITU. Itu hanya dalam cakupan Saptapuraga, maksudnya hanya contoh untuk dibandingkan dengan “KAMUS YAHUDI””. Waduh……., penulis tambah bingung dan tambah penasaran. Baik kami akan mencoba bertanya terus untuk meyakinkan kami dan para pembaca: “Apakah 1.300 TRILIUN KOSAKATA anda mamahaminya”? Mandalajati Niskala menjawab: “Bukan memahaminnya tapi insyaalloh saya hafal seluruhnya di luar kepala”. Tentu saja sangat mengagetkan, setengah tidak percaya namun keyakinan yang terpantul pada raut wajah Mandalajati Niskala dengan jawaban yang tandas, menjadikan rasa penasaran kami semakin meningkat. Kami tanyakan lebih jauh: “Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca kamus sebanyak 1.300 Triliun Kosakata”? Beliau menjawab sambil seloroh: “Wa…ah anda pura-pura tidak bisa menghitung. Begini, jika membaca satu kosakata membutuhkan waktu rata-rata 2 detik, kemudian kita baca kamus tersebut terus menerus sampai selesai tanpa istirahat, maka waktu yang dibutuhkan adalah 80 JUTA TAHUN. Silakan anda hitung sendiri…!!! Heheeh lucu ya…!!!” Mandalajati Niskala menatap dengan mata yang disorotkan sambil langsung menebak kebenaran perasaan kami dengan sebuah pertanyaan sebagai berikut: “Pasti anda akan bertanya manusia mana yang punya umur sepanjang itu?” Bener juga tebakan Mandalajati Niskala ini….! Selanjutnya kami mencoba mengkorek pendapat Mandalajati Niskala mengenai para Budayawan Sunda: “Kalau boleh saya tahu; Apakah seperti Ajip Rosidi, Hidayat Suryalaga alm., Nina Lubis, Ibu Oce Jungjunan dan lain-lain yang memiliki predikat sebagai Akhli Budaya Sunda memahami masalah ini; Soalnya kami perhatikan berpuluh tahun mereka malah punya pemahaman bahwa kosakata bahasa Sunda banyak menyerap dari bahasa lain”? Jawaban Mandalajati Niskala: “Maaf disiplin ilmu tiap orang bisa berbeda. Demikian pula pasti mereka punya rujukan ilmu. Saya yakin tiap orang punya kelebihan pada disiplin ilmunya, karena mereka semua mengorbankan waktu untuk sebuah ilmu. Janganlah hal-hal yang saya uraikan dijadikan standar untuk mengukur kompetensi orang lain, sebab bisa jadi dapat merusak citra orang lain”. Para Pembaca Mandalajati seperti yang malas untuk mengkritisi para akhli budaya, selanjutnya Mandalajati Niskala menjelaskan bahwa bahasa Sunda adalah bahasa primer tanpa limit yang tak lain adalah Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Tutur Mandalajati Niskala berikutnya: “Ada tiga filsafat kalam yang semuanya tanpa limit, yaitu Filsafat Sastra Jendra, Filsafat Hayu Ningrat dan Filsafat Pangruwating Diyu. Itulah yang seyogyanya dibongkar oleh para filsuf, kemudian diregulasi oleh para ilmuwan menjadi sajian ilmu. Sehingga hasanah pengetahuan yang luar biasa ini tidak distigma sebagai mitos. Anggapan mitos terhadap khasanah kekayaan Sunda bisa jadi hanya dikarenakan ketidaktahuan dan ketidakfahaman mengenai Filsafat Sunda. Para filsuf Sunda sampai hari ini masih sembunyi. Mereka punya tugas yang lebih dari sekedar diskusi di forum-forum. Mereka semua sedang berhadapan dengan Dazal dan Yahudi. Perlu saya tegaskan, sebenarnya jika rahasia Sastra Jendra terbuka maka terbukalah Dunia dan telanjanglah Dazal dan Yahudi yang selalu memanipulasi ilmu pengetahuan. Tidak boleh menutup mata bahwa ilmu pengetahuan yang kita konsumsi saat ini adalah produk Dzal dan Yahudi. Baik itu masuk melalui PINTU BARAT maupun masuk melalui PINTU TIMUR. Sastra Jendra tak lain adalah ilmu kalam berupa AYATULLAH KAUNIYAH untuk membuka kebenaran rahasia alam ini. Sekian lama Sastra Jendra bergeser dari titik pusatnya. Diluar pusatnya manusia manapun tidak akan sanggup untuk membongkar kandungannya, karena kandungan Sastra Jendra harus dibongkar menggunakan bahasa primer yaitu bahasa Sunda. Jika demikian bahasa Sunda memiliki kecakapan untuk menterjemahkan ‘makna energy’ seluruh bahasa di Dunia. INILAH YANG DIMAKSUDKAN BAHASA IBU ATAU IBU BAHASA. Bahasa Ibu atau Ibu bahasa tak lain Bahasa Babon atau Bahasa Bibit. Bahasa ini tentunya sebagai bahasa wiwitan yang fitrah, yang sejatinya adalah bahasa yang dipakai oleh Ibu Hawa. Bahasa-bahasa yang sekarang dipakai diseluruh permukaan Bumi adalah merupakan bahasa turunannya YANG SEYOGYANYA DIKATAKAN SEBAGAI BAHASA ANAK atau ANAK BAHASA. Kita digiring mengikuti jalan pikiran Dazal dan Yahudi yang sengaja berniat memanipulasi supaya manusia lupa kepada bahasa ibunya yang asli, yaitu Bahasa Sunda. Semua bahasa dikatakan sebagai bahasa Ibu dan istilah IBU BAHASA ditiadakan diganti dengan istilah BAHASA IBU, dengan maksud untuk mempermudah memanipulasikan makna. Istilah Ibu Bahasa disembunyikan, kemudian dipublikasikan istilah Bahasa Ibu dalam berbagai konfrensi bahasa untuk melahirkan devinisi. Gagasan kejahatan ini berlangsung sangat tidak terasa. Intinya AKAN MENGHILANGKAN KEBERADAAN BAHASA BABON, SEBAB BAHASA BABON ITU AKAN MENGARAH KEPADA BAHASA SUNDA”. Demikian yang dituturkan Mandalajati Niskala sambil menambahkan: “Saya tegaskan. Sebenarnya yang dimaksud oleh Dazal dan Yahudi bahwa bahasa Ibu itu adalah Ibu bahasa. Selanjutnya Boleh-boleh saja bahasa manapun mengatakan sebagai Bahasa Ibu atau Ibu bahasa asal mampu memenuhi syarat-syarat sebagai bahasa ibu. Setelah istilah Ibu bahasa berganti menjadi bahasa Ibu, maka menjadi logis bahasa Ibu itu didefinisikan sebagai bahasa ‘Si Mamah’ kepada anaknya. Harapannya jika ibu-ibu di permukaan Bumi ini lancar berbahasa Inggris, maka dia akan merasa bangga melatihkan tutur kata keseharian kepada anak-anaknya. Suatu saat akan timbul keadaan bahwa bahasa Ibu itu bahasa Inggris, karena secara realita dan fakta bahwa bahasa Inggis merupakan bahasa yang dipakai sebagai tutur kata seorang ‘Mama’ kepada anaknya diseluruh permukaan bumi. Jika kondisi sudah seperti ini maka istilah bahasa Ibu akan dikembalikan menjadi Ibu bahasa, dan logis jika dikatakan bahwa Ibu bahasa adalah bahasa Inggris. . . . Heheheh……, KOP BAE MANGGA DAZAL UPAMI TIASA MAH….!’” . Mandalajati Niskala membeberkan lebih rinci sebagai berikut: “Inilah rekayasa akibat kedengkian Dazal. Ketahuilah bahasa terlahir bukan atas sebuah kesepakatan atau rekayasa manusia. Bahasa akan terlahir mengikuti kaidah alam yang fitrah; yang merupakan ‘energy kalam’ dari PURAGABASA, UNGKARABASA, TANGARABASA, UGABASA dan WARUGABASA. Di sisi lain ada yang namanya AZASI BAHASA dan ‘Panca Maha Buta’. Tentu saja semua orang ‘BLENG’ termasuk ‘Sang Juru Rekayasa’ terhadap istilah dan kosakata di atas. Bahasa adalah energy kalam yang muncul alami selaras dengan cakupan alam. Cakupan alam dalam ruang lingkup Semesta Jagat Raya, maka logis bahasa itu dikatakan sebagai BAHASA TUHAN atau selanjutnya menjadi BAHASA KHALIFAH. Cakupan alam dalam ruang lingkup Bumi, maka logis bahasa itu dikatakan sebagai BAHASA IBU atau disebut sebagai BAHASA IBU HAWA. Cakupan alam dalam ruang lingkup Nusa, maka logis bahasa itu dikatakan sebagai BAHASA NUSA atau BAHASA BANGSA. Bahasa yang muncul secara runut dalam ruang lingkup Nusa disebut bahasa et~nusa atau bahasa etnis. Bahasa yang muncul tersebut otomatis akan selaras dengan alam ke~nusa~an yang ada disekitarnya. Inilah yang disebut ANAK BAHASA. Runut munculnya anak bahasa sebagai berikut: nu~’SA’ :: ma~nu~’SA’ :: et~nu~’SA’ :: ba~’SA’ (bahasa) Belajar bahasa atau sastra bagi para akhli bukan hanya soal belajar bicara, belajar buat puisi dan sebagainya, tapi seyogyanya menyelidiki keberadaan bahasa tersebut sampai pada tingkat filosofi atau tingkat hakekat. Ketahuilah bukan sebuah pendapat atau hipotesa bahwa segala sesuatu itu ada ketentuannya atau hukum-hukumnya. Keberadaan hukum ini menjadi ketetapan Tuhan dalam mengatur keselarasan alam. Selanjutnya hukum ini bisa disebut hukum alam. Demikian juga dalam hal bahasa ada ketentuan alamnya. Ketentuan alam ini disebut KETENTUAN FITRAH dalam berbahasa. Tentu saja semua bahasa memiliki ketentuan Fitrah karena bahasa itu lahir mengikuti ketentuan Tuhan YMK. Bahasa Fitrah yang saya maksudkan adalah bahasa awal yang dipakai umat manusia sejak jaman Ibu Hawa”. “Jika kita mancermati secara teliti; sebuah bahasa dapat dikatakan sebagai bahasa awal umat manusia yang digunakan sejak jaman Ibu hawa, harus mampu melahirkan bahasa-bahasa turunannya. Bahasa Ibu Hawa tersebut lazim disebut sebagai Bahasa Ibu; atau Ibu Bahasa atau Bahasa Wiwitan karena memenuhi ketentuan alam SEBAGAI BAHASA AWAL. Inilah yang saya maksudkan bahwa bahasa Sunda sebagai BAHASA AWAL YANG DIGUNAKAN OLEH IBU HAWA, karena memiliki ketentuan alam yang tidak bisa dicapai oleh bahasa manapun. Ketentuan alam tersebut sebagai berikut: 1.BAHASA IBU HAWA harus memenuhi HUKUM-HUKUM RASIONAL, yaitu harus mampu menggambarkan KEKAYAAN KOSAKATA yang tanpa limit, karena kekayaan kosakata ini akan diwariskan kepada ‘turunannya’. Kekayaan kosakata yang tenpa limit ini disebut SASTRA JENDRA. 2.BAHASA IBU HAWA harus memenuhi KETENTUAN IRASIONAL yaitu harus mampu menggambarkan KEKAYAAN dan KELUHURAN NILAI yang tanpa limit, kerena nilai ini akan diwariskan kepada ‘turunannya’. Kekayaan dan keluhuran nilai yang tanpa limit ini disebut HAYU NINGRAT. 3.BAHASA IBU HAWA harus memenuhi KETENTUAN HIRASIONAL yaitu harus mampu menggambarkan KEKAYAAN ENERGI yang tanpa limit, kerena kekayaan energi ini akan diwariskan kepada ‘turunannya’ Kekayaan energi yang tanpa limit ini disebut PANGRUWATING DIYU”. “Saya yakin para akhli sastra, budaya, pilolog, antropolog dsb., akan bingung menyimak tiga ketentuan di atas; Walaupun notabene mereka para akhli, tetap saja mereka sangat tidak faham karena sederat gelar kesarjanaan yang dicapai selama ini dan dijadikan kebanggaan sebagai buah pendidikan hanyalah merupkan korban produk pemikiran Dazal Barat dan Dazal Timur, kemudian dibuat tidak sadar menjadi para propaganda pemikiran Dazal tersebut di dalam Dunia Pendidikan”. Mandalajati Niskala menjelaskan lebih lanjut sekaligus mengklarifikasi agar tidak menimbulkah fitnah, bahwa kesalahan itu terletak pada sistem yang dibuat oleh Dazal. Penjelasan beliau sebagai berikut: “Saya katakan dengan tegas bahwa sama sekali para akhli di atas tidak salah, karena sistem yang dibuat oleh Dazal yang menjadikan kita tidak sadar; Yang salah adalah dunia pendidikan tidak pernah melahirkan para filsuf yang handal dan hakiki, sehingga sistem dunia pendidikan dikendalikan Dazal Barat maupun Dazal Timur. Mungkin layak kita pertanyakan; Siapa Sang Produser dari Dazal Barat dan Dazal Timur yang bercokol disana? Saya sendiri tidak berniat untuk merubah scenario pendidikan, karena akan membuang energy dan bisa dikatakan melangkah terlalu cepat hingga akan terjebak di kubangan. Soal di atas bukan hal yang pokok dalam sebuah kebangkitan. Biarkan saja jangan hiraukan nantipun akan ada yang merobahnya”. Demikian ungkapan Mandalajati Niskala yang tidak bisa kami tuangkan seluruhnya, namun kami telah menagkap kesimpulan bahwa beliau memiliki kekayaan sulur buah fikiran yang luar biasa. Untuk hal tersebut rasanya kami tidak salah menenpatkan beliau sebagai FILSUF SUNDA Jabangtutuka Satu dari “Seribu Jabangtutuka Sunda” yang secara bergiliran akan muncul pada buku Sang Pembaharu Dunia Di Abad 21. ———————————————————— Naskah ini dicuplik dari Editing Penulis. Judul Buku: SANG PEMBAHARU DUNIA DI ABAD 21 Sub Judul: “SERIBU JABANGTUTUKA SUNDA” Serial: “Jabangtutuka 1 Mandalajati Niskala”

Kamis, 10 Mei 2012

Allah berfirman, Tanah yang baik, tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhannya. (QS. al-Araf : 58). Tanah mempunyai sikap amanah. Siapa yang menanam sesuatu di dalamnya, tanah akan mengembalikannya dalam jumlah berlipat ganda. Allah berfirman : Dalam setiap butirnya tumbuh seratus biji. (QS. al-Baqarah : 261). Demikian pula dengan seorang mukmin. Jika ia melakukan suatu amal, amal itu akan diganti dengan berkali-kali lipat pada hari kiamat nanti. Allah berfirman, “Orang-orang yang sabar akan diberi ganjaran tanpa hisab (batas).” (QS. al-Zumar : 10) Disamping itu, di antara sifat alamiah tanah, ia akan melumat segala sesuatu yang buruk dan hanya menumbuhkan yang baik-baik saja. Demikian pula dengan tanah keimanan. Ia menyingkirkan segala bentuk kekufuran dan dosa, serta menumbuhkan berbagai buah ampunan, rahmat, dan rida-Nya, “Kejahatan mereka akan Allah ganti dengan kebaikan.” (QS. al-Furqon : 70) Selain itu, di antara sifat alamiah tanah, ia seperti ibu yang mendekapmu. Ia ibarat tempat buaian. Allah berfirman, “Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan ?” (QS. an-Naba : 29). Juga ibarat gudangmu, “Dia telah menciptakan untuk kalian semua yang ada di bumi.” (QS. al-Baqarah : 29). Juga seperti ibu yang mencintaimu, “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kalian. Kepadanya Kami akan mengembalikan kalian. Serta darinya Kami akan mengeluarkan kalian pada kali yang lain.” (QS. Thaha : 55). Demikian pula dengan iman. Darinya keluar semua yang bermanfaat bagimu baik di dunia maupun di akhirat. Sumber : Buku “Kecerdasan Bertauhid” karya Fakhruddin al-Razi (seorang ulama, hidup thn 544-606 H), penerbit zaman.

Senin, 07 Mei 2012

KEAJAIBAN AIR

kristal-air-1
Dari penelitian yang dilakukan seorang ilmuwan Jepang Dr Masaru Emoto yang dipublikasikan melalui bukunya “The True Power of Water” kita baru mengetahui bahwa ternyata air memberikan respon positip atau negatif terhadap fikiran manusia. Dr.Masaru Emoto berhasil mendapatkan foto kristal air pertama di dunia bersama sahabatnya Kazuya Ishibashi (seorang ilmuwan yang ahli dalam mikroskop). Foto kristal air ini didapat dengan cara membekukan air pada suhu -25 derajat celcius dan difoto dengan alat foto berkecepatan tinggi.
Hasilnya ternyata air mampu merespon kata-kata, gambar serta musik secara positif ataupun negatif. Jika kita mengatakan pada air kata-kata “cinta dan terima kasih” maka hasil foto kristal airnya sungguh dahsyat yakni membentuk kristal air heksagonal yang indah. Sebaliknya, jika kita mengatakan pada air kalimat “kamu bodoh” atau kalimat negatif lainnya maka air tersebut tidak akan membentuk kristal tapi meresponnya dengan bentuk yang buruk tidak menentu.
Demikian pula musik klasik ternyata mampu merubah air membentuk kristal yang sangat indah sedangkan musik heavy metal justru membentuk air yang tidak baik. Hal yang berkaitan dengan manfaat air sebagai penyembuhan spiritual juga mengagumkan. Foto dibawah  ini telah memperlihatkan kebesaran Allah, dimana air yang telah diberikan doa ternyata mampu membentuk kristal heksagonal yang sangat indah.
kristal-air-2

Dalam bukunya ”The Hidden Message in Water”, Dr. Masaru Emoto menguraikan bahwa air memiliki sifat mampu merekam pesan, seperti pita magnetik atau CD. Semakin kuat konsentrasi pemberi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air. Air bisa mentransfer pesan tadi melalui molekul air yang lain.
Temuan ini menjelaskan mengapa air putih yang didoakan bisa menyembuhkan orang yang sakit . Ternyata molekul air itu menangkap pesan doa kesembuhan, menyimpannya, lalu vibrasinya merambat kepada molekul air lain yang ada di tubuh si sakit. Tubuh manusia memang 70% terdiri dari air. Otak 74.5%, Darah 82% air. Tulang yang keras pun mengandung 22% air.
Rasulullah saw, bersabda, “Zam-Zam Limaa Syuriba Lahuu,” Air zam-zam akan melaksanakan pesan dan niat yang meminumnya. Barang siapa minum supaya kenyang, dia akan kenyang. Barang siapa minum dengan niat kesembuhan, Insya Allah dia akan sembuh.
Keajaiban air Zam-Zam tidak tertandingi, termasuk air termurni di Kutub Utara dan Selatan sekalipun. Hal ini dibuktikan juga oleh Dr. Masaru Emoto, bahwa tak ada kandungan air di dunia yang menyamai kandungan air Zam-Zam. Dibeberkan bahwa molekul air Zam-Zam merupakan molekul air paling cantik dan indah di antara air lainnya. Tentu saja setiap doa yang terhembus dari setiap jamaah haji dan Umroh selama ini menjadikan air Zam-Zam sebagai air terindah yang akan terus menghapus dahaga rohani setiap tamu Allah di Mekah. Pantaslah air Zamzam begitu berkasiat karena ia menyimpan pesan doa jutaan manusia selama ribuan tahun sejak Sayyidina Ibrahim.
Temuan ilmuwan Jepang ini membuktikan bahwa khasiat doa yang ditransfer melalui air merupakan hal yang nyata. Dengan penelitian ini, jelaslah sudah bahwa pengobatan alternatif melalui air yang telah diberi doa atau Rukyah untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang berat bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika dulu banyak orang beranggapan penyembuhan penyakit melalui air yang diberi doa adalah musrik maka oleh ilmu pengetahuan telah dibuktikan bahwa doa yang dibacakan pada air mampu merubah air tersebut menjadi air penyembuh. Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa doa yang dibacakan pada air mampu merubah air tersebut menjadi air penyembuh
Sehubungan dengan itu kita harus hati hati , karena ternyata tubuh kita sendiri terdiri dari 70% air. Jika kita memiliki pikiran negatif maka air dalam tubuh kita juga akan membentuk pola yang negatif. Akibatnya bisa menimbulkan berbagai penyakit dan masalah lainnya pada tubuh kita. Sebaliknya jika kita berfikiran positip air ditubuh kita juga akan merespon positip dan memberi kekuatan serta kesehatan pada tubuh kita.
Tidaklah mengherankan jika stres ternyata memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap timbulnya penyakit. Dengan penemuan yang brilian ini, kini saatnya bagi kita untuk menjaga agar fikiran kita tetap positip. Pikiran positif akan akan direspon positip oleh air yang ada ditubuh kita yang pada akhirnya akan memberikan kesehatan dan kekuatan pada tubuh kita.
Doa dan dzikir adalah salah satu cara untuk memberikan pengaruh positip pada sel air yang ada didalam tubuh kita. Orang yang setiap hari membaca Qur’an , berdzikir mengingat Allah, mengerjakan shalat dengan khusuk pasti akan memberikan pengaruh positip pada air yang ada ditubuhnya. Yang pada akhirnya juga akan memberikan kekuatan dan kesehatan pada tubuhnya.
Sebaliknya orang yang setiap hari hidup dalam kondisi tertekan, selalu mengeluarkan atau mendengarkan ucapan sumpah serapah , keluhan serta makian dapat dipastikan air yang ada ditubuhnya akan mengeluarkan reaksi negatif pula. Hal mana pada akhirnya akan berpengaruh pada kesehatan dan daya tahan tubuhnya, yang pastinya akan berpengaruh pada kinerja yang bersangkutan dalam kegiatan sehari hari.
Karena itu Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar banyak berdzikir mengagungkan dan menyebut nama Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring. Membaca Qur’an dan memperbanyak shalat sunah, semua itu akan memberi kekuatan pada rohani dan jasmani. Serta melindungi diri dari berbagai hal negatif yang dapat melemahkan kemauan dan semangat atau mendatangkan penyakit pada tubuh.
(Disarikan dari berbagai sumber)

kejawen

JAWA dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan,khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" ,isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama,menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana,hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam . Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para dunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
Masih banyak filsafat Jawa yang mungkin, tidak dapat diuraikan satu persatu, terlebih keinginan saya bukan untuk banyak membahas hal ini, mengingat ini bukan bidang saya, namun kami hanya ingin memberikan suatu wacana umum kepada pembaca, bahwa, banyak sekali ilmu yang dapat kita gali dari budaya (Jawa) kita saja, sebelum kita menggali budaya luar terlebih hanya meniru (budaya luar)-nya saja.